KISAH CINTA SEORANG PRAJURIT DI MEDAN TEMPUR - Berita & Informasi Dunia Pendidikan

Monday 2 October 2017

KISAH CINTA SEORANG PRAJURIT DI MEDAN TEMPUR


PERAJURIT
Kisah cinta seorang prajurit di medan tempur

Kisah ini berawal sekitar 65 tahun yang lalu, saat sepasang kekasih yang saling mencintai, saling berjanji untuk setia sehidup semati, namun pada akhirnya harus terpisahkan oleh takdir.

Dia adalah Hardi Pranomo yang sudah lama menjalin kasih dengan Sumiati gadis desa yang sederhana.
Waktu itu saat mereka berboncengan sepeda sepulang sekolah, melewati jalan raya Capgawen yang menghubungkan kecamatan Kedungwuni dan Karangdadap, saat itu jalan masih berbatu dan sepeda adalah transportasi utama, selain delman, becak dan pedati. Banyak juga lalu lalang pejalan kaki. Kadang sesekali ada mobil yang lewat itu pun hanya orang-orang tertentu yang mengendarai. Begitulah sekilas gambaran tentang kabupaten Pekalongan pada tahun 1960an.
Saat Pramono mengayuh sepedanya, tiba-tiba langit mendung menghitam,dan petir pun menyambar beberapa kali dengan kerasnya
Seketika Sumiati langsung memeluk tubuh Pramono dengan eratnya.

Lalu Pramono menghentikan sepedanya di gubuk tua bekas warung yang sudah tak ditempati lagi.

"Mas Pram aku takut sekali mas..." ucap Sumiati menggigil sembari memeluk erat kekasihnya.

"Jangan takut Sum, selama masih ada aku kamu akan baik-baik aja..." ucap Pramono menenangkan.

Sumiati pun merasakan ketenangan berada di dekapan tubuh Pramono.

"Tapi mas, aku takut kalo suatu saat nanti kita gak bisa bersama-sama lagi, aku takut kamu ninggalin aku mas..." ucap Sumiati dengan nada sedih.

"Percayalah Sum, itu gak akan terjadi, aku gak akan pernah ninggalin kamu...
Apapun yang terjadi aku akan berjuang mati-matian untuk kamu, tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikiranku untuk meninggalkanmu...
Bukankah kamu tau, betapa aku sangat menyayangimu, bahkan jauh-jauh hari sebelum kamu menyayangiku...???
Ingat Sum, namaku Hardi Pramono, orang yang akan selalu mencintaimu seumur hidupku...
Lihatlah Sum, langit disana yang mulai gelap itu, tak sedikitku menggetarkan rasa tukutku...
ucap Pramono dengan nada yang optimis, lalu memeluk Sumiati dengan lembutnya.

"Apakah yang kamu ucapkan itu serius mas...???" tanya Sumiati lirih dengan tubuh yang masih memeluk Pramono.

Seketika Pramono melepaskan pelukan nya, dan menatap dalam-dalam mata Sumiati sambil mengangguk pelan.
Lalu Pramono melangkah menuju pematang sawah sambil berteriak.

"Hai langit, dengarlah aku berjanji...
Aku sangat mencintai Sumiati, sangat teramat sangat mencintainya...!!!
Selama aku masih hidup, selama itu pula aku akan berjuang untuknya, apapun yang terjadi aku tak akan pernah menyerah...!!!
Jika Tuhan mendengar janjiku, turunkan hujanmu wahai langit...!!!"

Seketika petir menyambar dua kali keras sekali, dan hujan pun turun dengan derasnya.

Pramono tetap berdiri tenang di tengah sawah, melebarkan kedua tangannya dengan muka menengadah ke atas, sembari tersenyum menikmati tiap tetes air yang turun dari langit.
Lalu Sumiati berlari ke arahnya dan langsung memeluk  tubuhnya.

Mereka pun saling berpeluk erat di bawah guyuran sang hujan, menikmati derasnya air yang membasahi tubuh mereka.

"Aku percaya padamu mas, demikian juga aku, aku berjanji akan selalu mencintaimu sampai kapan pun..." ucap Sumiati dengan nada haru sembari tetap memeluk erat dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Pramono.

"Air hujan ini menjadi saksi betapa aku sangat menyayangimu Sum, aku berjanji akan berjuang untuk kebahagiaanmu, sampai kita benar-benar bersatu dan menua bersama...
Bahkan sampai salah satu dari kita harus menghembuskan nafas terakhir, entah itu kamu atau aku yang lebih dulu...
Tapi yang jelas saat itulah aku akan berada disampingmu, berpegang erat tangan kita dan saling menatap untuk yang terakhir kalinya..."
Begitulah janji mereka untuk tetap setia sehidup semati.
Tiga tahun Kemudian, Juli 1967. Mereka akhirnya lulus sekolah, setelah lulus Sumiati memilih untuk meneruskan pendidikan nya di jurusan keguruan, karena cita-citanya ingin mengabdi pada bangsa untuk menjadi guru, sementara Pramono memutuskan memilih untuk masuk akademi militer, karena ingin meneruskan perjuangan sang ayah yang juga tentara.

Dari sinilah benih-benih perpisahan itu bermula.

"Mas, kenapa kamu tetap ngotot ingin menjadi tentara...???
Kenapa gak bareng aku aja masuk sekolah keguruan...???
Biar kita bisa menjadi guru dan mengabdi untuk bangsa ini bersama-sama...
Bukankah kamu pernah berjanji tidak akan pernah meninggalkan aku mas...???" 
Sumiati berharap kekasihnya mau ikut bersamanya di jurusan keguruan.

"Percayalah Sum, aku tak akan pernah Meninggalkanmu...
Aku memilih jalan ini karena wasiat dari ayahku dulu, sebelum ayah gugur di medan perang melawan penjajah, beliau berpesan pada ibuku agar kelak anaknya bisa meneruskan perjuangannya menjadi seorang tentara...
Bukankah menjadi tentara juga termasuk berbakti pada bangsa dan negara, guru dan tentara adalah profesi yang sama-sama mulia Sum..."
Ucap Pramono meyakinkan kekasihnya sembari memegang kedua tangan Sumiati dan menatapnya dalam.

"Tapi aku gak ingin seperti ibumu yang kehilangan orang yang sangat dicintainya karena berjuang membela negara..." Sumiati menangis lalu memeluk Pramono.

"Heeyy... jangan nangis sayang, sekarang ini kita sudah merdeka lebih dari 20 tahun, gak mungkin penjajah itu datang lagi... jadi jangan khawatir yang berlebihan yaa..." Pramono meyakinkan Sumiati dengan senyum manisnya.

Dibalik penampilan garangnya, Pramono tetap mempunyai sisi wajah yang meneduhkan, hingga setiap kali Sumiati menatap wajah Pramono kegundahan hatinya pun mereda.
Waktu berjalan begitu cepat, empat tahun kemudian setelah mereka lulus dan masuk di profesi yang dicita-citakan, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Mereka telah membuktikan, bahwa cinta mampu menyatukan mereka walau sisi pandang mereka jauh berbeda.
Tepat 26 maret 1972 mereka melangsungkan acara pernikahan dengan sederhana.
Dan beberapa bulan kemudian Sumiati pun mengandung anak pertama. Dan setelah lahir anak itu diberi nama Dirga Pranomo. Karena sang ayah berharap kelak anaknya mempunyai jiwa patriotisme yang tinggi.
Belum genap anaknya berumur satu tahun, tepat pada tahun 1975, pemerintah Republik Indonesia tengah melakukan operasi militer yang diberi sandi operasi Seroja di Timor Leste, melawan pasukan Fretilin (Front Revolusioner Independen Timor Timur) yang menginginkan kemerdekaannya.
Dan Pramono ditugaskan di daerah konflik tersebut, Timor Leste.
Sebagai catatan:
Sejarah Timor Leste berawal dengan kedatangan orang dari Portugal pada awal abad ke-15 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga.
Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu.
Pada tahun 1945 setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Timor Leste bagian timur masih tetap dibawah kekuasaan Portugal, sementara Timor Barat masuk wilayah Indonesia karena bekas jajahan Belanda.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste.
Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia).
Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.

Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan.

Setelah pertempuran sengit yang memakan waktu lama, pada akhirnya Fretelin berhasil dikalahkan. Timor Leste berhasil diambil alih dan namanya diubah menjadi Timor Timur yang menjadi propinsi ke 27 Republik Indonesia.
Namun setelah itu Ftetilin tetap melakukan serangan (dalam skala kecil) terus menerus. Dari yang sebelumnya perang terbuka beralih menjadi perang gerilya.
Hingga akhirnya pada tanggal 30 Agustus 1999 (setelah pemerintahan Soeharto tumbang dan digantikan Bj Habiebie) diadakan lah referendum, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, dan mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia.
Dan setelah itu Timor Leste resmi menjadi negara yang merdeka dan mendeklarasikan Republik Demokratik Timor Leste.
Kembali ke cerita:
Setelah pasukan TNI mendarat di kota Dili, Pramono ditugaskan ke lokasi Gunung Matebean, salah satu gunung tertinggi di Tanah Lorosae, Timor Leste, untuk membantu pasukan lain yang nyaris kalah ketika sepertiga dari jumlah pasukan Indonesia tewas.
Karena pasukan Fretilin yang sangat menguasai medan, dan jumlahnya yang lebih besar, pasukan TNI mulai terkepung. Bahkan pasukan yang dipimpin Pramono yang berjumlah 30 personel hanya tinggal tersisa 5 personel saja.
Disuatu malam, saat Pramono dan rekan-rekannya bersembunyi di tengah hutan, saat hendak istirahat ternyata keberadaannya telah diketahui musuh, dan malam itu mereka telah terkepung. Tiba-tiba suara tembakan menghentak memecah kesunyian malam. Puluhan peluru keluar dari moncong senapan musuh, tembakan demi tembakan mengarah padanya. Seakan tak memberi kesempatan pada mereka untuk menyelamatkan diri.

"Deerr...!!! Deerr...!!! Deerr...!!! Boomm....!!!" tembakan dan suara dentuman bom terus bergantian menyerang mereka.

Pramono dan kawan-kawan kocar kacir tak karuan, suasana kacau balau tak beraturan.

"Deerr...!!!" tak disangka satu peluru menembus lengan kiri Pramono.

Ditengah kepanikannya, tanpa pikir panjang Pramono sebagai komandan kompi memberi intruksi kepada anggotanya.

"Haryo, kamu bersama Sutan, Toni dan Ridwan cepat lari ke atas bukit itu, dibalik bukit itu banyak tentara kita... biar aku sendiri menghalau mereka...!!!" perintah Pramono sembari memegang lengan kirinya yang berlumuran darah.

"Tapi Pram...??? Aku gak mungkin ninggalin kamu disini... sangat berbahaya...!!! Kita harus tetap bersatu" jawab Haryo sembari panik. Sementara suara tembakan ke arah mereka terus meledak tanpa henti.

"Justru itu, kalo kita tetap bersama, kita semua akan mati ditangan mereka...!!!
Biar aku yang menghalau mereka, biar aku yang mengecohkan mereka...
Sementara kalian ke atas bukit itu, aku akan mencoba lari ke lembahan ke arah sungai di bawah sana...
Mereka akan mengejarku, sementara kalian naik ke bukit itu jangan menyalakan apapun dan jangan menembak sama sekali, biar jejak kalian tak terlacak...!!!" Pramono menjelaskan tak-tiknya sembari membalas tembakan kearah musuh.

"Deerr...!!! Deerr...!!! Deerr...!!! Boomm....!!!" tembakan dan suara dentuman bom terus bergantian menyerang mereka.

"Ayoo...!!! Serang mereka...!!! Mereka yang menjajah tanah kita, kita harus habisi mereka...!!!" teriak sang komandan pasukan Fretilin dengan bengis.

"Go...!!! Go...!!! Go...!!! Go...!!! Lakukan perintah sesuai tak-tik kita... cepat Haryo cepat...!!!" Pramono terus berteriak.

"Tidak Pram, lebih baik kami mati bersama dari pada membiarkanmu mati dikepung mereka...!!!" jawab Haryo sembari tetap membalas tembakan musuh.

"Bodoh, lebih baik mati satu untuk menyelamatkan yang lain dari pada semua mati sia-sia disini...!!!" jelas Pramono di tengah kepanikan.

"Tapi Pram...!!!???" Haryo memotong pembicaraan.

"Ini perintah...!!! Saya komandan kalian... cepat ikuti perintah...!!!" gertak Pramono.

"Lebih baik kami mati bersamamu Pram, aku bangga bisa mati bersamamu sebagai prajuritmu...!!!" ucap Toni yang sedari tadi fokus membalas tembakan lawan sambil bersembunyi dibalik pohon besar.

Sesaat semua terasa hening, walaupun sebenarnya musuh masih terus menembak dan menyerang. Pramono terharu mendengar ucapan kawan-kawannya yang rela mati bersama. Mereka saling memandang satu sama lain, seakan tak lagi menghiraukan tembakan musuh. Semua seakan siap mati ditempat itu.

"Deerr...!!! Deerr...!!! Deerr...!!! Boomm....!!!" tembakan dan suara dentuman bom terus bergantian menyerang mereka. Namun mereka seakan tak memperdulikannya.

"Tidak kawan, kalian tidak akan mati disini... 
Lihat darahku sedari tadi telah tertumpah disini, ini menandan di tanah ini akan menjadi kuburanku...
Kalian harus tetap selamat, sebagai tentara aku bangga jika mati di medan perang..." ucap Pramono penuh semangat juang.

Mendengar itu, mereka seakan tak menghiraukan tembakan dan dentuman yang menyerang mereka, mereka seakan kagum pada sosok Pramono, seorang komandan yang rela mengorbankan jiwanya demi keselamatan prajuritnya.

"Oiya Haryo, jika kamu pulang nanti, titip salam buat istri dan anakku, katakan pada mereka bahwa aku sangat menyayangi mereka...
Jaga mereka baik-baik...!!!" ucap Pramono dengan mata yang berkaca-kaca.

Sesaat Haryo terdiam, dia tak tau apa yang sahabatnya ucapkan, dia hanya merasa itu adalah permintaan terakhirnya, dan tanpa sadar air matanya menetes tak tega meninggalkan sahabatnya harus mati ditempat ini.

Disaat kebekuan itu, tiba-tiba "Booomm...!!!" sebuah granat meledak tepat di dekat mereka.

"Ayoo cepat kalian pergiii...!!!
Go...!!! Go...!!! Go...!!!" teriak Pramono memberi intruksi.

"Tapi Pram...!!!???" jawab Haryo.

"Tidak ada tapi-tapian, aku komandanmu, lakukan perintah cepat...!!! Cepatt...!!!" perintah Pramono membentak. Lalu dia berdiri bergegas lari menuruni lembah sembari menembaki musuh.

"Deerr... deerr... deerr... deerr... deerr... deerr..." Pramono membabi buta memberondong ke arah musuh.

Sementara Haryo dan rekan-rekannya terpaku membisu melihat aksi heroik dari sang komandannya, hingga tak terasa mereka semua meneteskan air mata, lalu mereka berlari ke atas bukit tanpa melepas tembakan satupun. Mereka berlari merunduk menembus semak belukar menerobos pekatnya malam.

Sementara pasukan Fretilin terus mengejar ke arah tembakan Pramono. Mereka mengira musuhnya lari ke lembah. Dan akhirnya Haryo dan ketiga rekannya selamat dari kejaran pasukan musuh. Ini membuktikan strategi Pramono berhasil.
Sesampainya di atas bukit, Haryo dan ketiga kawannya istirahat, menyaksikan pasukan Fretilin menyerbu komandannya dengan berondongan peluru dan denduman granat. Mereka berempat menangis haru tak tega membayangkan nasib komandan sekaligus teman seperjuangannya.

"Selamat jalan kawan, kami bangga pernah mengenalmu, kamu adalah perwira tertangguh yang pernah kami kenal, sesungguhnya kamu tidak mati sia-sia..." ucap Haryo lirih sembari menahan tangisnya.

Lalu mereka meneruskan perjalanannya naik turun bukit dengan sikap siaga. Setelah pejalanan lama, menjelang pagi akhirnya mereka sampai di camp pasukan TNI, mereka pun disambut hangat oleh beberapa prajurit di sana, setelah istirahat dan mendapat pertolongan medis, mereka menceritakan kejadian mereka saat dikepung pasukan musuh dan semua yang ada disana tertunduk mendengar cerita heroik sang komandan kompi yang rela mengorbankan jiwa raganya.

"Selamat jalan kawan... semoga kamu tenang di alam sana... pengorbananmu tak akan pernah kami lupakan..." semua pasukan mengheningkan cipta.


Tahun 1976 setelah pertempuran berkecamuk, pasukan TNI kewalahan dan terkepung oleh pasukan Fretilin, atas alasan keamanan camp-camp di daerah pedalaman akhirnya ditarik mundur dan pasukan TNI hanya menguasai pusat-pusat kota, sementara daerah-daerah pedalaman masih dalam kekuasaan Fretilin.

November 1976 beberapa prajurit ditarik mundur untuk dipulangkan, untuk istirahat mengobati trauma setelah berbulan-bulan melakukan pertempuran sengit, dan Haryo juga ikut dipulangkan dalam rombongan itu.
Setelah sampai di Jawa dan tiba di maskas besar kodim Wonopringgo Pekalongan, Haryo langsung bergegas menghampiri rumah Sumiati, untuk menyampaikan kabar tentang suaminya yang gugur di medan perang.

Mendengar kabar itu, Sumiati langsung tersungkur tak kuasa menahan tangisnya. Sumiati berteriak histeris dan tak sadarkan diri.

Inilah alasan kenapa saat lulus sekolah dulu Sumiati melarang kekasihnya menjadi tentara, inilah alasan kenapa dia ingin kekasihnya menjadi guru sepertinya, karena dia benar-benar takut seperti ibunda Pramono yang ditinggal orang yang sangat disayanginya gugur di medan perang. Dan saat ini dia merasakan hal yang sama dengan ibu mertuanya itu.
Namun semua ini sudah terlanjur terjadi.
Berhari-hari Sumiati mengurung diri di kamarnya, banyak kerabat, teman dan saudara yang datang menjenguknya, tapi guratan-guratan kesedihan masih menghiasi wajah Sumiati. Kehilangan orang yang sangat disayangi sungguh-sungguh sangat menyiksa batinnya.

Apalagi saat Dirga Pramono buah hati mereka mulai belajar bicara, "papah" ucapan polos dari anaknya sungguh membuat hatinya semakin teriris, bagaimana tidak bocah satu tahun itu mulai belajar bicara dan kata  "papah"  adalah kata yang sering diucapkannya, sementara sosok yang disebut-sebut sang anak sudah pergi jauh meninggalkan mereka berdua.

Tapi bagaimanapun juga, Dirga satu-satunya yang bisa menghibur saat Sumiati benar-benar merindukan sosok suaminya.
Yaa, cita-citanya hanya satu, mendidik Dirga hingga besar dan menjadi anak yang berbakti pada bangsa dan negaranya seperti yang dicita-citakan suaminya.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun pun berganti, sebagai wanita normal hari-hari Sumiati merasa kesepian, apalagi setelah Haryo sering datang untuk menjenguk keadaan mereka, karena Haryo juga mendapat wasiat terakhir sahabatnya untuk menjaga Sumiati dan Dirga.

Lambat laun hati Sumiati mulai terbuka untuk memulai lembaran baru, dan Sumiati pun mulai tertarik dengan kebaikan Haryo, apalagi sebenarnya Haryo sedari masih SMA sudah menyimpan rasa cinta pada Sumiati, namun pada waktu itu Sumiati hanya mencintai Pramono.
Mungkin alasan itulah mengapa Haryo sampai saat ini belum menikah.

"Jadi itu alasan kamu sampai sekarang masih melajang mas...???" tanya Sumiati yang mulai akrab dengan Haryo.

"Iya Sum, jujur dari dulu aku sangat sayang sama kamu, tapi aku sadar kapasitasku, aku gak mungkin merebutmu dari Pramono sahabatku sendiri...
Karena bagiku cinta adalah sebuah ketulusan dan keikhlasan..." jawabnya sembari menunduk dengan mata yang berkaca.

"Jika kamu ada hati sedikit saja untukku, aku sangat senang Sum...
Bukan maksud aku lancang, tapi aku benar-benar serius ingin menikah denganmu...
Aku memang tak sehebat dia Sum,
Tapi aku siap menjadi suamimu dan selalu menjagamu Sum..." tambahnya lagi meyakinkan.

"Aku belum bisa mas, aku masih ingin sendiri dulu entah sampai kapan aku tak tau... walau sebenarnya kadang aku merasa kesepian dan butuh sosok pendamping lagi..." ucap Sumiati lembut dengan mata menerawang ke langit.

"Aku ngerti Sum, tapi aku akan menunggumu sampai kapanpun Sum, karena aku benar-benar sayang sama kamu Sum..." jelas Haryo sembari menggenggam tangan Sumiati. Dan Sumiati pun merasakan kehadiran sosok baru dalam hidupnya setelah mengenal lebih dekat dengan Haryo.
Beberapa bulan kemudian akhirnya Sumiati memutuskan untuk mau menerima cinta dari Haryo. Dan mereka pun melangsungkan upacara pernikahannya.

Akhirnya hari-hari Sumiati kembali berseri, ada kebahagiaan yang mengisi ruang hatinya, bahkan ternyata Haryo sosok yang sangat baik dan perhatian, dia tak hanya mencintai dirinya tetapi juga menyayangi Dirga anak dari suaminya dahulu. Walau sebenarnya dia takut jika sewaktu-waktu Haryo kembali diterjunkan ke medan perang.
Hampir satu tahun telah berlalu, kini Sumiati tengah mengandung anak dari Haryo. Merekapun sangat bahagia dan tengah menyiapkan kehadiran buah hatinya.

Disela-sela kebahagiaannya, suatu hari ada yang mengetuk pintu rumahnya.
Sumiati pun bergegas membuka pintu, alangkah terkejutnya dia saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu itu, sosok yang selama ini telah dianggapnya telah hilang. Kini hadir kembali di hadapannya.

Yaa, dialah Hardi Pramono suami yang dulu sangat dicintainya kini kembali ada di hadapannya.
Suami yang dianggapnya telah gugur di medan perang ternyata dia masih hidup dan kini hadir di depan matanya.

"Mas Pram...???" ucap Sumiati terkejut luar biasa, antara tidak percaya apakah ini nyata atau hanya fatamorgana, bahagia, takut, canggung, sedih dan haru. Semua campur aduk dalam dirinya.

Sekejap Sumiati ingin memeluknya tapi dia ingat bahwa dia sudah bersuamikan Haryo. Sementara Pramono begitu bahagianya dapat melihat Sumiati kembali dan langsung memeluknya.

Tapi alangkah kagetnya dia, saat mengetahui orang yang dicintainya tengah hamil tua.

"Apa yang terjadi Sum...???" tanya Pramono dengan wajah terheran.

Seketika tangis Sumiati pecah, Sumiati menangis histeris langsung merobohkan tubuhnya, berlutut di hadapan Pramono.

"Maafin aku mas... maafin aku...
Aku mendapat kabar bahwa kamu telah gugur di medan perang, aku sangat sedih mas, aku sangat terpukul...
Hampir dua tahun aku bertahan sendiri berjuangan untuk membesarkan anak kita, tapi bagaimanapun juga anak kita butuh sosok ayah mas...
Hingga akhirnya aku putuskan nenikah lagi dengan Haryo mas...
Maafin aku mas... maafin akuuu...." Sumiati mengangis sesunggukan.

Mendengar itu hati Pramono hancur berkeping-keping, seakan dia juga ingin merobohkan tubuhnya. Namun dengan sekuat tenaga menahan tangisnya. Lalu kedua tangannya memegang bahu Sumiati dan mengajaknya berdiri.

"Kamu tidak bersalah Sum, sama sekali tidak bersalah...
Keadaanlah yang memaksa kita begini..."
Ucap Pramono menenangkan sembari memapah Sumiati masuk dan duduk disofa depan.

Tak berapa lama Haryo datang dari dalam.
"Pramono...???" ucap Haryo terheran dan sangat senang. Lalu ia lari mendekat.

Tapi saat melihat Sumiati menangis sesunggukan, dan menyadari semua yang terjadi lantas Haryo terpaku dan hanya menundukan kepala.

"Maafkan aku Pram..." ucap Haryo menunduk.

"Apanya yang perlu dimaafkan...???
Dalam hal ini tak ada yang bersalah..." jawab Pramono bijak, menyembunyikan kesedihannya, agar terlihat tetap terlihat tegar. Walau sebenarnya dalam hatinya hancur lembur berantakan.
Lalu Pramono mendekat dan memeluk sahabatnya itu.

"Kau tetap sahabatku Haryo, kau yang mampu menjaga Sumiati, tolong bahagiakan dia...
Mungkin kau yang ditakdirkan untuk menjadi penjaga hatinya..." ucap Pramono dengan nada menahan tangis.
Haryo pun tak kuasa menahan tangis.
Sementara Suniati hanya bisa tertunduk menangis di sofa itu.

"Sekali lagi maaf Pram, aku sungguh tak menyangka kamu berhasil selamat dari pertempuran itu..." ucap Haryo terheran.

"Ceritanya panjang Har..." ucap Pramono menunduk, seakan tak mampu membayangkan tragedi yang menimpanya.

Sesaat semua diam, seakan hening memberi jeda bagi mereka.
Lalu Pramono berusaha mengangkat wajahnya berusaha menceritakan kejadian demi kejadian yang dialaminya.

"Begini ceritanya Har..."
Pramono mencoba menceritakan awal trgedi itu.
Waktu aku perintahkan kalian untuk melarikan diri ke atas bukit, aku sengaja memberondong musuh agar musuh mengejarku. Saat itu rasanya aku memang tak mungkin bisa selamat. Bagaimana tidak, puluhan bahkan ratusan tentara Fretilin mengejar dan mengepungku. Saat itu hanya ada dua pilihan, yaitu membunuh atau dibunuh.

Karena itulah aku putuskan untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya aku terkepung dan terjebak di tepi jurang, puluhan pasukan Fretilin mengepung dan menodongkan senjatanya ke arahku.

"Angkat tangan...!!!" gertak mereka menyuruhku menyerah.
Tak ada pilihan lain, aku jatuhkan senjata dan mengangkat kedua tanganku.
Mereka terus mendekat sembari tetap menodongkan senapannya padaku.

Nafas yang tersengal-sengal, detak jantung yang berdegup kencang dan kepanikan yang sangat luar biasa. Dan kali ini tak ada pilihan lain selain berharap pada keajaiban do'a.

"Yaa Allah, selamatkanlah aku...
Jika memang ini akhir dari ceritaku, cabut nyawaku saat ini juga, karena jika aku tertangkap oleh mereka niscaya mereka akan menyiksa ku hingga diambang batas nyawaku...
Yaa Allah aku siap mati saat ini...
Tapi jika ini bukan ajalku, tolong selamatkan hambaMU ini..." hatiku terus berdo'a dengan pikiran yang kacau balau antah brantah.

Tak terbayang jika aku harus menjadi tawanan mereka, pasti siksaan terberat akan mereka hujamkan padaku.
Karena dalam pertempuran ini, tak ada kata tebusan atau tukar tahanan. Jika tertangkap mereka, hanya ada dua kemungkinan menyebutkan kode sandi rahasia lalu dibunuh, atau bungkam dengan hujaman siksa hingga mati terbunuh karena tak kuasa menahan beratnya siksa.

"Yaa, tak ada alasan untuk menyerah, lebih baik aku mati diberondong puluhan peluru dari pada harus mati disiksa oleh mereka..." pikiranku tertuju pada satu keputusan.

Tanpa pikir panjang, sebelum mereka mendekat dan menangkapku, aku langsung melompat terjun ke jurang, derasnya air sungai di dasar jurang langsung menghanyutkan tubuhku.

Walau aku sudah terhanyut di aliran air, mereka tetap memberondong ke arahku. Tapi pekatnya malam dan derasnya arus sungai membuat tubuhku sukar terlihat dan tak satu pun peluru mengenai tubuhku.

Entah berapa jauh aku terhanyut hingga akhirnya tubuhku tersangkut di bebatuan sungai.
Dengan tubuh yang lemah aku berusaha ke tepi, kebetulan disana ada satu goa kecil yang menghadap tepat di tepi sungai, mulut goa itu sempit seukuran tubuhku, tanpa pikir panjang aku masuk ke dalamnya, dengan susah payah aku masuk lalu aku tutup pintu goa itu dengan rerumputan.

"Cepat cari dia sampai dapat, kita harus dapatkan dia hidup atau mati...!!!" aku mendengar semua yang diucapkan pasukan Fretilin, mereka terus menyisir tempat itu untuk mencariku.

Malam itu, dengan baju yang basah aku menggil kedinginan, hipotermia menyerangku hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

Keesokan harinya aku terbangun, aku mencoba makan apa yang masih tersisa, aku mencoba bangkit untuk keluar namun aku masih melihat pasukan Fretilin menyisir semua lokasi tetap mencariku. Akupun hanya bisa terus bersembunyi di goa itu sampai kondisi benar-benar aman.

Yaa, mulai saat itu aku hanya keluar di malam hari, jika waktunya tiba aku mulai bergerilya mencoba menyerang mereka satu persatu, sengaja aku tak menggunakan senapanku karena aku tak ingin menimbulkan kegaduhan. Entah sudah berapa puluh pasukan musuh yang aku bunuh dengan tikaman belatiku, karena pada saat itu hanya dengan membunuh yang membuatku bisa bertahan hidup, karena saat kondisi seperti itu hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh.
Sudah hampir seminggu aku bergerilya mempertahankan hidupku, aku seperti kelelawar yang hanya keluar jika hari mulai gelap, aku juga persis dalam film Rambo yang seorang diri melawan pasukan musuh. Tapi ini bukan dalam adegan film, ini adalah kisah nyata hidupku. Kisah seorang tentara yang mempertahankan hidupnya ditengah kepungan musuh.
Rasanya tak mungkin bisa keluar dari hutan ini hidup-hidup, karena sepanjang mata memandang, hutan ini dalam kekuasaan Fretilin. Tapi semangat juangku lebih besar dari kemungkinan hidupku yang memaksa aku harus terus bergerilya membunuh mereka satu-persatu.

Saat itu aku adalah orang yang paling diburu pasukan Fretilin, komandan mereka memerintahkan untuk menangkapku dalam keadaan hidup atau mati, bahkan misi untuk menangkapku seakan lebih utama dibanding misi awal mereka dalam memperjuangkan kemerdekaannya.

Tepat di hari ke-10, saat aku melakukan penyerangan, bahkan malam itu aku sudah membunuh belasan prajurit mereka, menjelang subuh pergerakanku terlacak.

"Angkat tangan...!!!!" dua orang anggota Fretilin menodongkan senapan ke arahku saat aku sedang menyeret salah satu dari mereka setelah mati aku tikam.

Aku hanya bisa mengangkat tanganku. Mereka pun mulai mendekat sambil teriak meminta bantuan,

"Wooyy... disini orang yang kita cari...!!! 
Cepat kesini, aku menemukannya...!!!" sambil menodongkan senapan mereka berdua terus berteriak.

Dari jauh terdengar suara pasukan Fretilin yang mulai berdatangan.

Tanpa pikir panjang, pelan-pelan aku cabut belati yang ada di pinggangku. Beberapa detik kemudian aku lari ke arahnya dan dengan sigap aku tancapkan belatiku di leher tepat dibawah jakunnya.

"Hiaaattt...." "Cruuusss...!!!" seketika darah memuncar dari lehernya deras sekali. Pekatnya malam membuat gerakanku seperti iblis yang haus akan darah.

Lalu aku putar arah, berbalik menghujam pasukan Fretilin yang satunya, ayunan belatiku tepat menyayat mengenai leher bagian kiri merobek ke kanan, hingga luka menganga dengan darah mengucur kemana-mana.Dua prajurit Fretilin itu akhirnya tersungkur mati dengan bersimbah darah.

Saat kedua musuhku berhasil aku bunuh, pasukan Fretilin yang lain berdatangan, mereka langsung memberondong membabi buta ke arahku.

Aku dengan sigap lari ke arah jurang, tepat di bibir jurang beberapa detik sebelum aku meloncat, tembakan mereka mengenai tubuhku.

"Deerr... Deerr... Deerr... Deerr... Deerr..."

"Aaaahhh..." aku teriak kencang sekali, sungguh aku merasakan belasan peluru mengenai tubuhku.
Aku pun menjatuhkan diri jatuh ke jurang dengan aliran sungai yang deras, langsung menghanyutkan jasadku.

Dalam ketidak sadaranku, aku merasa mereka tetap memberondongkan tembakannya ke arahku, hingga beberapa peluru mengenai tubuhku lagi. Aku merasa sudah tak terhitung lagi peluru yang menembus tubuhku, bahkan air sungai yang menghanyutkan ku berubah memerah karena darahku.

Aku mulai benar-benar tak sadarkan diri. Tubuhku yang terombang-ambing terhanyut oleh derasnya sungai mulai tak terasa lagi, aku merasa ringan, terbang ke langit, aku seperti kapas putih yang terbang terhembus angin hingga tinggi sekali. Bahkan aku melihat bayangan-bayangan seperti malaikat yang siap menjemputku.

"Apakah ini rasanya mati...???
Apakah ini yang disebut perjalanan menuju akhirat...???
Apakah ini akhir dari ceritaku...???" hatiku terus bertanya-tanya, aku merasa terus terbang di pekatnya langit hitam.

Hingga sampailah aku di sebuah pintu besar penuh cahaya, di sana nampak seperti orang yang berjubah putih menunggu di kedua sisi pintu. Aku merasa terbang terus mendekat, semakin dekat aku merasa cahaya itu sungguh sangat terang menyilaukan. Aku mulai tersedot masuk ke dalamnya.

Tiba-tiba,
"Mas Pram, jangan tinggalin aku..." sosok Sumiati hadir yang entah dari mana datangnya sembari memegang erat tanganku.

"Mas Pram pernah janji gak akan ninggalin aku, kalaupun salah satu dari kita harus mati, kematian kita tidak seperti ini, jika saat itu benar- benar tiba, tangan kita akan saling menggenggam dan kita akan saling menatap untuk yang terakhir kalinya..." suara Sumiati menggema seperti suara peri dalam film-film fiksi.

Tarikan tangan Sumiati seakan kencang sekali hingga aku terseret lagi turun ke bumi.

"Aaaaahhhhh....!!!!!" teriakanku melengking panjang, aku merasakan sakit yang tiada tara, tertarik kembali ke lorong waktu dan kembali masuk ke jasadku.

"Aaahhh tolong...!!!" aku kembali bisa merasakan sakit yang di derita tubuhku, dan seketika terbangun dan bangkit dari kematianku.

"Tenang anak muda, kamu akan segera sembuh..." suara kakek-kakek sambil memeras kain untuk mengompres kening ku.

"Kamu sudah beberapa hari ini pingsan nak, aku dan cucuku yang menemukanmu di tepi sungai di sela-sela bebatuan...
Aku mencoba menolongmu dari luka-luka yang ada di tubuhmu..." kakek itu terus bercerita tentang kejadian itu, sembari mengolesi ramuan-ramuan tradisional ke luka yang ada di tubuhku.

"Aku kira kamu sudah mati nak, tapi aku lihat detak jantungmu masih sangat kencang, setelah aku bawa ke rumah, puji Tuhan luka-luka itu tidak ada yang menembus organ-organ yang vital dalam tubuhmu, kau benar-benar orang yang beruntung nak...
Entah berapa banyak peluru yang melobangi tubuhmu, tapi kamu berhasil selamat..."kakek tua itu terus melanjutkan ceritanya dengan nada pelan khas orang yang sudah tua.

Setelah beberapa hari dirawat oleh kakek itu, kondisiku mulai pulih.

"Kek, dimana baju seragamku, aku ingin segera pulang...???" tanyaku sembari bangkit dari tempat tidur.

"Seragammu sengaja aku kubur, aku sengaja menyembunyikan identitasmu dari orang-orang disini. Jika tidak, nyawamu akan terancam..." kakek itu memberi tau tentang semua yang terjadi.

"Ini wilayah kekuasaan Fretilin, semua orang yang ada di kampung ini dalam pengawasan Fretilin, dan semua penduduk disini memang penduduk Fretilin...
Ini basis Fretilin nak..." kakek tua itu meneruskan ceritanya.

"Termasuk kakek...???" tanyaku memotong ucapannya.

Kakek itu hanya menganggukan kepala.

"Tapi kalo kakek pendukung Fretilin, kenapa tidak membunuhku saja waktu menemukanku...???" aku bertanya heran.

"Karena aku melihat ada cahaya kehidupan di wajahmu..." ucap kakek singkat sembari menyeruput kopi lalu menghisap rokok yang terbuat dari tembakau yang diklinting dengan kulit jagung dan menyembulkan asapnya dengan santai, wajah kakek itu sungguh tenang dan meneduhkan.

"Tapi aku tetap ingin pulang kek...!!!
Aku tak bisa terus-terusan tinggal disini" aku ngotot sembari keluar dari kamar, meninggalkan kakek yang masih duduk di bangku di dekat tempat tidurku..
Tak berapa lama aku melangkah tiba-tiba terdengar suara tembakan dan teriakan-teriakan, dan bisa dipastikan itu pasukan Fretilin yang sedang patroli di daerah kekuasaannya.

"Brakkk...!!!" pasukan Fretilin masuk rumah kakek, sebagai kegiata patroli rutin mengecek kondisi wilayahnya.

"Siapa dia kek...???" ucap prajurit itu sambil menodongkan senapan ke arahku.

"Dia suami dari cucuku yang baru pulang dari kota Dili, dia mengungsi kesini karena kota Dili sekarang sudah tidak aman dan telah dikuasai oleh pasukan TNI..." kakek membelaku.

Tak berapa lama, para prajurit itu pergi meninggalkan kami untuk mengecek rumah yang lain.

"Kamu liat sendiri kan nak...??? 
Jangankan untuk pulang ke kotamu, untuk keluar dari kampung ini saja sangat berbahaya, mereka menguasai semua titik-titik di wilayah pegunungan ini...
Setiap sudut-sudut jalan dijaga ketat oleh mereka...
Dan perlu kamu tau, semua pasukan TNI telah ditarik mundur dan hanya menguasai sebagian kecil di kota-kota, sementara wilayah-wilayah pedalaman kami masih punya kendali..." jelas kakek itu sembari menyeduh teh hangat lalu memberikannya padaku.

"Minum teh teh ini nak, selagi masih hangat...
Teh ini aku buat dari berbagai racikan rempah-rempah, semoga teh ini membuat tubuhmu cepat pulih..."
Yaa, mulai saat itu pupus sudah harapanku untuk pulang, terpaksa aku lewati hari-hariku di kampung ini.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun.
Akhirnya aku merasa nyaman tinggal di kampung ini, kampung yang jauh dari hiruk-pikuk kota, makan dari hasil bumi, sangat sulit menemukan makanan kemasan disini, bahkan untuk minyak goreng pun kami membuatnya sendiri dari kelapa, karena semua jalur perniagaan terputus karena efek dari peperangan ini.

Tapi inilah kenyataan, kami semua merasa bahagia atas keterbatasan ini, menjadi petani dan hidup bersama warga yang sangat ramah. Apalagi cucu kakek Rehinaty de Raujo Teme, nama yang susah dieja oleh lidah-lidah orang Jawa seperti aku, tapi dia sangat cantik di mataku. Rambutnya yang keriting lebat, kulit yang lebih gelap dari kulitku yang sawo matang ini namun terlihat sangat bersih terawat, matanya yang belo hingga tatapannya terasa sangat menyenangkan hati.
Sungguh wanita yang sangat eksotis di mataku. Sesaat terlupakan beban-bedan yang ada di benakku. Aku benar-benar merasa beruntung bisa merasakan kehidupan seindah ini.

"Mas, kita kan udah kenal lama, dan aku merasa kita banyak kecocokan, kenapa mas gak segera meminangku aja mas...???
Padahal kakek dan warga disini sudah setuju kalo kita menikah..." ucap Rehinaty sembari mencuci baju di pinggir sungai, lalu duduk di batu besar setelah semuanya selesai.

"Itu tak mungkin Naty, jujur aku sudah punya istri dan dia sangat menyayangi aku, bahkan bayangan istriku lah yang membuat aku bangkit dari kematianku..." jelasku sembari memeras baju yang telah dibilas. Karena tugasku memang memeras setelah Naty menguceknya. Lalu aku duduk di samping Naty setelah semua cucian selesai diperas.

"Bukankah dalam agammu laki-laki berhak menikah lebih dari satu...???
Aku rela pindah keyakinan jika kita menikah nanti mas...
Dan aku juga yakin kakek pasti tak keberatan..." wajah manisnya memelas yang membuat dia makin manis.
"Aku tidak pernah berpikir ke arah situ Nat..." jelasku singkat menundukan muka.

"Baiklah kalo gitu mas, aku harap apapun yang terjadi nanti itu yang terbaik buat kita..."ucapnya pasrah sembari menatap awan yang bergumul seakan menyaksikan keserasian kami.

Tak bisa dipungkiri, Naty lah yang selama ini mengisi hari-hariku, aku sangat merasakan ketulusannya, sinar matanya menggambarkan betapa besar cintanya untukku, dan sebenarnya aku pun juga merasakan benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Cinta yang tak bisa dijelaskan dengan logika dan nalarku.

Bagaimana mungkin aku mencintai wanita yang berasal dari pihak musuhku, mungkin saja pasukan Fretilin yang aku bunuh selama ini adalah sanak saudaranya, karena sebagian besar laki-laki di kampung ini pergi menjadi pejuang Fretilin.

Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan perempuan yang berbeda dari latar belakang maupun keyakinannya, walaupun dia mulai mencoba memahami dan belajar tentang agamaku.

Bagaimana mungkin aku bisa menghianati Sumiati, istri yang selalu aku cintai dan aku pun pernah berjanji untuk setia sehidup semati dengannya.

Dan entahlah, aku tak mengarti apa yang terjadi pada hidupku ini.


"Maasss... maaasss...
Kok jadi melamun gitu...???" suara Naty mengejutkan lamunanku.

"Oohh iyyaa... yuukk kita pulang..." aku pun segera menganggkat ember yang berisi baju-baju yang telah selesai dicuci, lalu segera berdiri mengajak Naty pulang.
Kini tak terasa hampir 3 tahun telah berlalu, aku mendengar kabar pasukan TNI mendapat bantuan dari Amerika Serikat, Australia dan negara-negara lain. Pesawat-pesawat tempur canggih berdatangan, senjata dan perlengkapan perang sudah sanggup menandingi tentara pretelin Akhirnya pasukan Fretilin mulai berhasil ditumpas, basis-basis pendukung Fretilin pun berhasil dihancurkan, perkampungan dan wilayah-wilayah pendukung Fretilin juga diisolasi dan dibombardir, sehingga ladang dan persawaan rusak, yang mengakibatkan bencana kelaparan dimana-mana.
Tak cukup itu, pasukan TNI mulai merengsek masuk ke pedalaman-pedalaman pegunungan, tak memandang anak-anak, tua muda semua yang mendukung Fretilin dibantai habis-habisan. Aksi ini mereka namakan aksi pembersihan.

Mendengar kabar itu, aku pun merasa geram, aku seakan sangat membenci TNI padahal aku sendiri anggota TNI. Aku merasa benar-benar sudah menjadi bagian dari rakyat Timor Leste.

Hari ini, maret 1978 pasukan TNI mulai memasuki daerah-daerah pedalaman, dengan beringas mereka memporak-porandakan pemukiman di sekitar kampung kami, rumah-rumah dibakar, semua warga dikumpulkan. Disiksa diintrogasi satu-persatu untuk menunjukan persembunyian kantong-kantong markas Fretilin, jika tidak mau membuka mulut mereka langsung ditembak mati.
Ini memang perang, membunuh memang dibolehkan, tapi membunuh pihak sipil, apalagi anak-anak dan perempuan adalah tindakan keji yang tak berprikemanusiaan.
Aku memang terlahir sebagai seorang tentara, yang ditakdirkan untuk menjadi mesin pembunuh, tapi jiwa ksatria yang diturunkan dari ayahku yang membuat aku berperang dengan cara-cara ksatria pula.
Bahkan dalam ajaran agamaku dilarang keras membunuh dengan cara-cara keji seperti ini.

Saat ini aku sangat membenci TNI, aku muak strategi-strategi perang seperti ini.
Walaupun aku juga tau, pihak dari Fretilin juga melakukan hal sama demikian, membunuh dan membantai siapa saja yang memihak pada keintegrasian Indonesia.
Pagi ini tak seperti biasanya, ketenangan di kampung ini harus terusik oleh kedatangan tentara loreng yang tak asing lagi di mataku, mereka pasukan TNI yang melakukan penyisiran terhadap Fretelin yang masih tersisa.

"Deerrr... Deerrr... Deerrr... Deerr... Deerrr..." 
suara tembakan yang bertubi-tubi mengawali kepanikan yang terjadi pada warga kampung kami.

Dengan cepat mereka mendobrak pintu-pintu rumah, menggeladah dan memaksa semuanya keluar dari rumah, semua warga dikumpulkan di tanah lapang, disuruh berbaris dengan muncong senapan yang selalu mengarah dan membidik mereka.

Aku benar-benar geram atas semua ini.
Melihat seragam TNI aku benar-benar muak. Mereka menendang dan memukuli kami jika tidak mau jongkok dan merunduk.

"Hentikaaann...!!!" seketika aku berdiri dan berteriak ke arah mereka. Saking tak kuatnya aku menyaksikan ini semua. Kesabaranku benar-benar habis.

Seketika aku ditendang langsung oleh mereka. Aku terpental jauh.
Tapi mental tentaraku kembali muncul, seakan aku tak merasakan sakit sedikit pun, apalagi gentar menghadapi mereka.

Mereka pun menodongkan senapan ke arahku. Aku tidak gentar sama sekali, bahkan penduduk kampung semua terheran menyaksikanku.

"Ayoo tembak akuu...!!!
Tembak komandanmu ini...!!!" aku berteriak ke arah mereka.

Mereka terdiam heran. Seakan mengerti arah pembicaraanku.
Lalu salah satu dari mereka yang berbadan kekar datang mendekatiku. Lantas seketika memukulku, aku yang terlelanting langsung bangkit lalu aku lepas kaosku sehingga memperlihatkan otot-ototku yang juga kekar, aku pun membalas memukulnya.
Suasanya menjadi sangat tegang, adu pukul pun tak dapat terhindarkan, sementara tentara yang lain hanya bisa diam sambil menodongkan senjata. Mereka seakan heran terhadapku, mengapa rakyat sipil seperti aku memiliki bela diri ala TNI.

Setelah laki-laki berbadan kekar itu tersungkur kalah, mereka mulai ketakutan dan melangkah mundur sambil tetap menodongkan senapannya kearahku.

"Ayoo tembak komandanmu ini...!!!
Ayoo tembak kalo kalian berani...!!!
Aku Letnat Hardi Pramono...!!!
Pemimpin batalion infantri 507...!!!
Asalku dari Kodam Diponegoro...!!!"
Aku berteriak kencang penuh emosi, hingga air ludah pun memercik kemana-mana dengan keringat membanjiri wajah dan tubuhku.
Aku benar-benar seperti rambo dengan telanjang dada yang memperlihatkan otot-otot kekarku yang berlumuran keringat yang mengkilap.

"Baik kalo kau memang anggota dari kami, mana bukti keanggotaanmu...???" tanya salah satu dari mereka sambil tetap menodongkan senjata namun dengan wajah ketakutan. Terlihat tangannya gemetar memegang senapan itu.

Aku mendekat ke arah kakekku,
"Dimana kek dulu mengubur seragam TNI-ku...???" aku bertanya pada orang yang telah aku anggap orang tuaku sendiri.

"Didekat pohon mangga belakang rumah..." jawabnya lirih sambil mengarahkan pandangannya ke pohon besar di belakang rumah.

Aku langsung menuju tempat itu dan menggalinya.

"Lihat ini... lihatlah...!!!" aku menunjukan seragam kebesaranku yang sudah lapuk karena terkubur hampir 3 tahun.

Semua terdiam, entah apa yang ada dipikiran mereka. Tapi didalam kebekuan itu, tiba-tiba laki-laki kekar yang telah tersungkur itu bangkit.

"Yaa, aku ingat...!!!
Kamu komandan Yonif yang dikepung pasukan Fretilin 3 tahun yang lalu itu kan...???
Aku ingat sekali saat anak buahmu melintasi bukit untuk menyelamatkan diri dan bertemu pasukan kami.
Yaa, waktu itu mereka bercerita bahwa kamu adalah komandan yang rela mengorbankan nyawanya demi anak buahnya...
Kamu benar-benar ksatria Ndan..." laki-laki bertubuh kekar itu memelukku lalu menepuk-nepuk pundakmu.

"Kami bangga padamu..." laki-laki itu memberi hormat ala militer, dan diikuti semua pasukan TNI yang ada disitu.

Dengan kejadian ini, akhirnya kampung kami selamat dari pembantaian dan penghancuran, tidak seperti kampung-kampung lain yang harus porak-poranda karena dianggap basis Fretilin.

Penduduk disana pun semua terheran, tak menyangka bahwa selama ini aku yang dianggapnya bagian dari mereka, ternyata bagian dari TNI yang mereka anggap musuh dan yang mereka benci.

Tapi dilihat dari wajah mereka, setidaknya mereka tetap menganggapku sebagai penyelamat mereka.
Terutama Naty yang begitu bangga melihat aksi heroik ku, dan makin terpancar dimatanya perasaan cinta untukku.

Bahkan disaat aku harus pergi meninggalkan perkampungan itu, saat penduduk kampung bersedih, Naty lah yang wajahnya terlihat paling sedih, bahkan saat mobil jeep yang membawaku meninggalkan kampung itu makin menjauh, Naty lah yang masih bertahan dengan terus melambaikan tangan hingga aku benar-benar menghilang dari pandangannya.

Yaa, dialah orang yang selama 3 tahun ini merawatku dengan ketulusan, membangkitkan ku dari keterpurukan, membagi semua cerita dan pandangan-pandangan hidupnya padaku. Dan tak terasa ada rasa kehilangan saat aku meninggalkannya. Walaupun sesungguhnya saat ini adalah saat yang aku nanti-nantikan, saat do'a yang selalu aku panjatkan terkabulkan.
Tapi saat semua itu terjadi entah mengapa justru hatiku seakan tak ingin meninggalkan kampung itu.

"Sampai jumpa Naty, kalaulah wanita yang terbaik yang pernah aku kenal, kau wanita yang berasal dari pihak musuh namun mampu menjadi penyelamat hidupku...
Dan percayalah, suatu saat aku pasti merindukanmu...
Jaga dirimu baik-baik...!!!" gejolak batinku berperang dengan pikiranku.
Saat aku tiba di markas besar di kota Dili, aku disambut bak pahlawan. Berbagai penghargaan disematkan untukku.
Akupun diizinkan pulang, dan saat itulah aku merasakan kehidupan yang baru, bersiap menemui anak dan istriku, menjadi seorang suami dan ayah bagi mereka.

Aku sangat bahagia saat mengemas barang-barang bawaan ku dan bersiap diterbangkan ke kampung halaman, akhirnya aku bisa menjalani hidupku dengan damai.

"Begitulah kisah yang aku alami hingga aku sampai disini, pahit memang tapi inilah kenyataan hidup yang harus aku jalani..." kenang Pramono bercerita selama pelariannya yang tak terasa membuat air matanya menetes membasahi pipinya, begitu pula sahabatnya yang tak kuasa menahan tangis mendengar cerita perjuangan Pramono untuk bertahan hidup dan kembali.

Seketika Sumiati bersimpuh di kaki Pramono dengan tangis sesunggukan.

"Maafin aku mas... maafin aku...
Aku yang tak bisa sesetia kamu, aku yang tak bisa sesabar kamu... maafin aku atas semua ini..." tangis Sumiati pun pecah membuat suasana makin haru.

Lalu pramono memegang bahu Sumiati dan mengangkatnya untuk berdiri, Pramono yang sedari tadi duduk pun berdiri, dengan lembut mengusap air mata Sumiati, matanya memandang detil demi detil wajahnya, Pramono merasakan tak ada yang berubah dari Sumiati, semua sama seperti saat Pramono pertama kali mengenalnya, bahkan Pramono masih merasakan cinta disetiap tatapan mata sumiati.

Sumiati memegang tangan Pramono yang sedari tadi menempel di pipinya, menggenggam erat tangannya dan menciumnya penuh kehangatan, Pramono sangat merasakan penyesalah dan kesedihan Sumiati.

"Maafin aku mas... aku tak tau harus berbuat apa saat ini... aku benar-benar bingung mas, aku sangat, sangat..." belum sempat Sumiati berbicara panjang lebar, Pramono memotong ucapannya.

"Tidak Sum, tidak...
Kamu tidak pernah bersalah...
Ini semua kehendak yang maha kuasa, ini semua garisan takdir kita Sum...
Sebesar dan setulus apapun cinta kita, jika takdir berkata lain, maka semua akan terjadi sesuai garis takdir itu...
Percayalah sum, inilah takdir kita, inilah jalan hidup kita, dan aku yakin ini yang terbaik untuk kita..." dengan lembut Pramono menenangkan hati Sumiati.

"Tapi mas...???" masih nampak kegelisahan di wajah Sumiati.

"Percayalah Sum, bagaimanapun juga kamulah semangat hidupku, kamulah alasan mengapa aku bertahan sampai saat ini, dan sampai kita tua nanti...
Percayalah, ini adalah hakekat cinta yang sesungguhnya, bahwa mencintai tak harus saling memiliki..." 
Mendengar kata-kata Pramono hati Sumiati mulai tenang, apalagi belaian kembutnya masih sama saat meraka menjalin kasih dimasa muda dulu.

"Aku kangen sama kamu mas..." bibir Sumiati berbisik lirih sembari menyandarkan kepalanya di dada Pramono, dan Pramono pun sengaja membiarkan mantan istrinya itu melepas kerinduannya. Pramono sangat mengerti perasaan Sumiati karena bagaimana pun juga perasaan mereka sama.

Beberapa saat kemudian, Pramono melepaskan pelukan Sumiati.

"Aku sangat mengerti perasaanmu Sum, tapi pahamilah bahwa sesungguhnya takdirmu bukan untuk aku, ada Haryo yang di ciptakan Tuhan khusus untukmu, untuk mendampingi sisa hidupmu, menemani perjalanan kebahagiaanmu..." ucap Pramono sembari menatap Sumiati, lalu memengok ke arah Haryo.

Haryo yang sedari tadi hanya terdiam termenung, kemudian dia mendekat.

"Lihatlah Suamimu ini Sum, betapa dia setia mendampingi hari-harimu, aku melihat di matanya ada cinta yang banyak untukmu..." ucap Pramono dengan tegar sambil menepuk pundak Haryo.

Akhirnya mereka pun mengusap mata dan saling tersenyum, memcoba tegar menghadapi semua yang terjadi. Mereka pun saling berpelukan bersama.

Tak berapa lama tiba-tiba sosok anak kecil berumur 4 tahunan keluar dari balik pintu kamar, sambil mengucek-ngucek matanya yang mengisyaratkan dia baru bangun tidur.

"Maaahh ada apa...???" ucapnya cedal dengan nada polos.

"Dirga Pramono..." bibir Pramono berucap lirih sembari mendekat lalu jongkok di hadapan bocah kecil itu.

"Om ini siapa kok tau nama Dirga...??? Dirga kok gak pernah liat om...???" mulut mungilnya berucap polos.
Pramono tak bisa berucap apa-apa lagi, ia terdiam menahan tangisnya, Pramono benar-benar terharu melihat anak kebanggaannya sudah tumbuh besar. Pramono pun langsung memeluknya erat-erat...

"Anakku... kamu anakku nak..." tangis Pramono pecah, dengan gugup Pramono terus memeluk dan menciumi Dirga.

"Yaa nak, dia ayah Dirga, dia ayah kandungmu nak..." Sumiati mendekat menjelaskan semuanya. Lalu mereka berdua memeluknya.

"Aku ayahmu nak...
Kamu adalah anak dari Letnan Hardi Pramono, komandan batalyon 507, kamu adalah cucu dari Soemardi Pramono pejuang kemerdekaan yang gugur dimedan perang nak...
Aku yakin, kamu akan tumbuh menjadi seorang Ksatria, karena di tubuhmu mengalir darah-darah patriotisme yang tinggi..." Pramono memberi sugesti pada Dirga.
Lalu memeluknya erat, mecoba melepas semua kerinduannya.

Bagaimana nasib Pramono selanjutnya...???
Apakah dia ingin meneruskan hidupnya dan menikahi Naty gadis dari tanah Timor...???
Dan bagaimana dengan kisah di hari tua mereka...???
Dijamin endingnya bakalan mengharukan...
Karena di ending cerita ini bakalan penuh konflik dan berisi tentang jawaban dari awal cerita...


Setelah itu mereka semua melepas kerinduan yang telah lama tersimpan, hampir seharian Pramono menemani Dirga bermain, Haryo dan Sumiati juga mendampingi, seakan mereka semua melupakan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Hingga sore harinya Pramono pamit pulang.

"Titip Dirga yaa, bagaimana pun juga dia adalah satu-satunya kebanggaanku, jika kau rindukan aku, peluklah dia, karena dia adalah aku..." ucap Pramono pada Sumiati, sembari menyentuh pipinya, matanya menatap sendu seakan menyimpan kerinduan yang dalam. Lalu Pramono pun melangkah ke arah Haryo.

"Titip Sumiati sobat, bagaimanapun juga dialah orang yang sangat berarti di hatiku, sayangi dia, jangan pernah menyakitinya... 
Aku percayakan dia padamu..." Pramono memeluk Haryo sahabat lamanya yang sekarang menjadi suami dari mantan istrinya.

Lalu Pramono melangkah pergi meninggalkan rumah yang dulu sempat menjadi surga kecil baginya. Kini dia harus pergi entah kemana meninggalkan semua kenangan di masa lalunya.

"Yaa, namaku Hardi Pramono, putra dari Soeryadi Pramono pejuang kemerdekaan yang gugur di medan perang....
Kata Hard diawal namaku yang artinya keras dan kuat, mungkin ayahku dulu memberi nama itu agar aku menjadi orang yang tangguh dan kuat...
Sepertinya ayahku sudah tau apa yang akan terjadi pada anaknya ini...
Cobaan ini terasa berat bagiku. Tapi aku harus kuat seperti apa yang diharapkan ayahku..." Pramono mengenang ayahnya, sembari melangkah menyusuri jalan aspal tanpa tujuan.

"Jedeerr... Deeerrr...!!!!"
Seketika petir menyambar dua kali keras sekali, dan hujan pun turun dengan derasnya.
Mengingatkan Pramono pada kisah cintanya di masa muda dulu bersama Sumiati.
Saat ini hatinya memang porak-poranda, tapi Pramono tetap tegar menjalani hidupnya.

Didalam keterpurukan, teringatlah sosok yang dulu pernah membangkitkan semangatnya, yang dulu pernah mengisi hari-harinya dalam keterasingan.
Yaa, dia adalah Rehinaty de Raujo Teme, nama yang susah dieja oleh lidah-lidah orang Jawa, namun susah untuk dilupakan semua kenangan bersamanya.
Setelah 6 bulan tugas di kodam Diponegoro, akhirnya surat tugas ke Timor Timur diterbitkan. Ini merupakan kabar baik yang Pramono tunggu-tunggu. Kembali ke tanah Timor, bertemu Naty dan ingin segera menikahinya.
Setibanya di kota Dili, wajah Pramono berbinar-binar, menyaksikan pembangunan kota yang mulai bebenah. Nampak bekas reruntuhan gedung dan rumah-rumah mulai dibangun kembali, jalan-jalan mulai diperlebar dan dirapikan. Keamanan kota yang makin terkendali, ini menunjukan pemerintah pusat Republik Indonesia serius memikirkan nasib rakyak Timor Timur.
Sesampainya di markas besar, Pramono pun istirahat. Keesok harinya Pramono meminta izin agar ditugaskan menjaga keamanan di daerah tempat dimana Naty tinggal, dan izinpun dikeluarkan beberapa hari berikutnya.
Pagi itu hari yang ditunggu-tunggu tiba, Pramono beserta rombongan bergegas meluncur menggunakan truk tentara menuju perkampungan yang dulu pernah dia tinggali selama hampir 3 tahun itu.

Nampak dalam perjalanan, kampung-kampung pun mulai terlihat aktivitasnya, penduduk mulai kembali ke kampungnya masing-masing. Pertanian dan perniagaan mulai berjalan nomal. Nampak setiap sudut jalan, terdapat pos-pos penjagaan TNI untuk menjaga kesetabilan keamanan. Suasana nampak aman terkendali walaupun kabarnya sisa-sisa pejuang Fretilin masih tetap melakukan penyerangan geriliya

Karena jarak yang lumayan jauh dan kondisi jalan yang masih berbatu, membuat perjalanan pun memakan waktu hampir 4 jam.

Dalam perjalanan itu, wajah Pramono nampak terus berseri-seri seakan tak sabar ingin bertemu wanita yang dirindukannya.

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya truk tentara yang membawa rombongan TNI mulai memasuki perkampungan-perkampungan di pedalaman.

Alangkah terkejutnya Pramono melihat dari kejauhan, kampung yang pernah ditinggalinya dulu terlihat membumbungkan asap tebal tinggi ke langit. Membuat hati Pramono terus bertanya-tanya,
"Apa yang sesungguhnya terjadi...!!!???"

Setelah sampai di kampung itu, Pramono langsung melompat dari truk dan berteriak lari ke rumah yang sudah roboh terbakar.

"Naty....!!!" Pramono berteriak histeris menyaksikan rumahnya telah porak-poranda.

Ternyata kampung itu baru saja mendapat serangan dari Fretilin karena dianggap pro TNI. Dan beberapa TNI yang berjaga disana juga banyak yang tewas.

"Kakek...!!!" Pramono histeris melihat kakeknya terkapar berlumuran darah.

"Kek bertahanlah kek... bertahanlah...!!!" Pramono menangis sekencang-kencangnya, melihat kakek yang dulu pernah merawatnya telah meninggal dengan cara mengenaskan.

"Kakek maafin aku kek...." Pramono menangis histeris sembari mengoyang-goyang tubuh kakeknya berharap masih ada tanda-tanda mehidupan.

Namun kakek itu tetap diam tak bergeming, kakek itu telah tewas ditembus beberapa peluru yang keluar dari moncong anggota Fretilin. Darahnya masih segar menandakan tragedi itu belum lama terjadi.

"Naty...!!! Naty dimana kamu...!!!" lalu Pramono berdiri dengan mata yang menyapu pandangan, mencari keberadaan Naty. Raut wajahnya pucat pasi yang menggambarkan kekhawatiran yang mencengkeram batinnya.

"Naty....!!!" Pramono terus berteriak histeris.

Sesaat terdiam menahan kobaran api yang menyulut  emosi dan dendam yang membakar jiwanya, lalu Pramono mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dengan wajah garang seperti singa.

"Ayoo... kita habisi mereka...!!!
Kita cari persembunyiannya...!!!" perintah Pramono pada anak buahnya.

Namun belum lama melangkah, salah satu dari anggotanya mendapat kabar bahwa sebagian warga yang selamat, ternyata diungsikan oleh anggota TNI yang berjaga disana.
Para warga yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak itu diungsikan ke kampung Caibada yang tak jauh dari kampung itu.

"Tolong urus pemakaman kakek dan orang-orang yang meninggal dalam tragedi ini, makamkan mereka secara layak..." perintah Pramono pada beberapa anak buahnya.

Lalu Pramono dan sebagian prajuritnya segera naik kembali ke truk dan langsung menuju Kampung Caibada kecamatan Baucau.

Setelah sampai, nampak disana tenda-tenda besar TNI telah berdiri kokoh yang diisi ratusan pengungsi.
Hiruk-pikuk suasana pengungsian sangat terasa disini.

Dari kerumunan pengungsi itu, nampak seorang perempuan mendekati truk TNI yang baru saja tiba. Alangkah bahagianya Pramono, gadis yang dirindukan selama ini ternyata selamat dan menyambut kedatangannya di tanah Timor ini.

"Naty...???!!!" ucap Pramono langsung memeluk tubuh Naty erat-erat. Mencium keningnya dan memeluknya lagi. Seakan mereka berdua tak menghirauakan adegan mereka ditonton orang-orang yang ada disana.

"Maafin aku Nat, maafin aku...
Aku benar-benar sayang padamu Naty... 
Maafin aku...
Saat ini aku sadar, aku benar-benar takut kehilanganmu..." ucap Pramono sembari tetap memeluk tubuh Naty tanpa lepas begitu lamanya.

"Iyaa mas aku juga sangat sayang padamu, bahkan jauh-jauh hari sebelum kamu sayang padaku..." jawab Naty berbisik lirih.

Setelah itu akhirnya Pramono dan Naty melangsungkan upacara pernikahan, walau pesta itu dilangsungkan di tenda Pengungsian namun acara itu tetap berjalan penuh hikmat dan meriah.
Setelah menikah Naty yang bernama lengkap Rehinaty de Raujo Teme berganti nama menjadi Naty Nurbaiti. Dan mereka pun menjalani sisa hidup mereka dengan bahagia.

Setelah beberapa tahun, kebahagiaan mereka semakin sempurna setelah dikaruniai tiga orang anak. Mereka Tinggal di Kota Dili, Timor Timur. Hari-hari mereka berjalan normal dan bahagia seperti pada umumnya masyarakat yang tinggal di Kota Dili. Karena pada masa itu presiden Soeharto memang memberi perhatian khusus pada propinsi baru ini.
Namun keadaan berubah seketika, saat di pemerintahan pusat Soeharto dilengserkan, digantikan dengan Bj Habiebie. Bumi Loro Sae yang semula mulai berangsur membaik kini kembali kacau, sisa-sisa pasukan Fretilin kembali membuat kekacauan, mereka mulai merektut anggota-anggota baru dan mulai melakukan perlawanan.
Apalagi pihak asing seperti Australia, Portugal dan PBB ikut campur tangan, yang membuat pihak pro kemerdekaan semakin menjadi-jadi.

Hingga akhirnya pada tanggal 30 Agustus 1999 diadakan lah referendum, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, dan mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia.
Pada tahun 2002
Timor Leste resmi merdeka dan menjadi negara yang berdaulat.

Dan setelah itu semua tentara dan peduduk yang mendukung pro Indonesia harus segera angkat kaki dan keluar dari wilayah Timor Leste.

Tak terkecuali Pramono dan keluarganya, mereka harus pergi meninggalkan kota yang selama bertahun-tahun ditinggalinya.

Sementara masyarakat yang pro Indonesia lebih memilih mengungsi ke Timor Barat, Atambua NTT dan kota Kupang, namun Pramono dan keluarganya lebih memilih kembali ke tanah kelahirannya, Pekalongan Jawa Tengah.

"Anggap saja ini kado menjelang hari pensiunan papah...
Lagian aku belum pernah liat kampung halaman papah..." ucap anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa.

"Kalian disana pasti akan lebih bahagia nak, 
Kita akan tinggal di tanah yang jauh dari aroma darah...
Tanah dimana selalu memberikan kesejukan...
Tanah dimana penghuninya menjunjung tinggi keramah-tamahan...
Tanpa ada rasa curiga satu sama lain...
Kita akan mudah menemui senyum di wajah-wajah yang selalu memberi ketulusan..." ucap Pramono bijak pada istri dan anak-anaknya. Sembari membelai rambut mereka.

Naty sang istri pun mengangguk bahagia, sembari memerhatikan wajah suaminya yang mulai menua, rambutnya sudah mulai memutih, dan dimatanya terdapat kerutan-kerutan halus yang menandakan semakin bertambahnya usia mereka.
Setibanya di Pekalongan, sesaat Pramono terdiam, menyaksikan sekeliling yang mulai banyak perubahan, lalu matanya terpejam dan menghirup udara dalam-dalam, merasakan suasana yang sedari dulu dirindukannya.

"Inilah Pekalongan nak, kota dimana ayahmu dulu dilahirkan...
Kota yang menjanjikan kedamaian...
Dan semoga saja Bumi Loro sae akan sedamai dan setenang ini...
Semoga selepas kemerdekaannya, negeri Timor Leste tak lagi ada pertumpahan darah...
Tak ada lagi dendam, tak ada lagi kebencian..." ucap Pramono penuh harap sembari memeluk anak dan istrinya.

"Amin..." semua anak dan istrinya mengamini.
Kini 14 tahun telah berlalu semenjak Pramono menghabiskan masa pensiunnya di tanah kelahiran, Pekalongan. Anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan memberikan beberapa cucu untuknya. Sungguh indah menikmati hari senja bersama istri dan anak cucu tercinta.
Pagi ini, 7 Februari 2016 seperti biasa setelah sholat subuh Pranomo berjalan di sekeliling rumahnya, berjalan pelan dengan tongkat kayu sebagai penopang langkahnya, tubuhnya sudah tak setegap dulu, kulitnya yang keriput serta rambutnya yang sudah memutih semua. Menandakan usianya sudah mencapai 3/4 abad.
Lalu Pramono duduk di kursi rotan di teras rumahnya, yang telah tersaji secangkir kopi dan pisang rebus yang sudah disediakan sang istri tercinta.

Tiba-tiba,
"Jedeerr... Deeerrr...!!!!"
Seketika petir menyambar dua kali keras sekali, dan hujan pun turun dengan derasnya.
Hati Pramono tersentak pada kisah kenangannya yang sudah terkubur puluhan tahun yang lalu.

"Petir itu mengingatkan tentang masa lalu ku... 
Ada apa ini...??? hati Pramono bertanya-tanya sambil memandangi derasnya guyuran hujan lalu menyeruput kopi yang telah dihidangkan istrinya.

"Jedeerr... Deeerrr...!!!!"
Lagi-lagi petir menyambar dua kali keras sekali, seketika hati Pramono terperanggah. Pikirannya tertuju pada satu nama, Sumiati.

"Tututt,, tututt.." hape nya tiba-tiba berbunyi menandakan ada pesan singkat yang masuk.

Dengan sigap Pramono mengambil hape nya dan langsung membaca.

"Pramono sahabatku,
Kiranya berkenan, sudilah datang ke rumahku...
Sumiati sakit keras Pram, kami butuh kedatanganmu..."
Tanpa pikir panjang Pramono bergegas berdiri, walau tubuhnya makin renta seakan tak peduli, dipakainya seragam TNI kebanggannya dulu yang sudah sekian tahun tergantung tak pernah tepakai semenjak masa pensiunnya tiba.

Pramono pamit izin pada sang istri tercinta untuk menjenguk mantan istrinya dahulu yang sering diceritakannya.
Tongkat kayu dengan pongkol melengkung sebagai pegangan, menuntun setiap langkahnya.
Pagi itu saat kabut tipis samar-samar masih menyelimuti hamparan sawah, bahkan sinar mentari pun belum mampu mengusir sang embun pagi yang setia membasuh dedaunan sesaat diguyur hujan. Nampak laki-laki tua sedang berjalan tertatih dengan tongkat kayu sebagai penopang langkahnya yang gontai, laki-laki tua itu memakai seragam loreng tentara kebanggaannya.
Dia adalah Pramono, yang kini usianya genap 75 tahun. Sudah tidak muda lagi memang, namun cinta dan semangatnya tak akan pernah luntur dimakan usia.

Setelah berjalan sekian lama, sampailah dia di pertigaan besar jalan raya Capgawen yang menghubungkan kecamatan Kedungwuni dan Karangdadap, mengingatkannya waktu masih muda dulu, saat berboncengan dengan kekasihnya Sumiati.
Namun saat ini keadaannya sudah jauh berbeda. Jalan sudah tak berbatu, kini beraspal lebar.
Di kanan-kiri nya sudah tak nampak hamparan pematang sawah lagi, kini berubah menjadi deretan kios-kios dan ruko.
Sawah yang dulu luas membentang kini banyak yang sudah menjadi perumahan.
Hilir mudik kendaraan bermotor sudah sangat padat, hingga jarang menemukan becak dan pedati yang lewat.
Inilah gambaran kabupaten Pekalongan saat ini.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya sampailah dia di rumah Sumiati, di depannya telah terparkir beberapa motor dan mobil, yang menandakan banyak sanak saudaranya yang berdatangan menjenguk keadaan Sumiati yang sedang sakit keras.

"Assalammualaikum..." suara Pramono yang sudah serak karena faktor usia, yang sontak langsung disambut sahabat dekatnya, Haryo.

"Wa'alaikumsalam, mari masuk Pram..." Haryo menyambut dengan rangkulan hangat, lalu mereka berjalan tertatih bersama memasuki kamar tengah rumah itu, di dalam nampak Sumiati yang sudah terbaring lemah.

"Sumiati sudah hampir seminggu ini koma Pram..." dengan nada serak pula Haryo mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi.
Kedua orang yang sama-sama sudah renta itu saling tertunduk melihat orang yang mereka cintai berbaring lemah tak sadarkan diri.

"Kata dokter, hidupnya sudah tak mungkin lama lagi...
Kami semua sudah berusaha mengikhlaskan nya, namun sudah seminggu Sumiati masih tetap koma seperti ini..." Haryo bercerita dengan nada pelan sambil sesekali menghela nafas, fisik Haryo pun sama seperti Pramono sudah rapuh termakan usia.

"Ada yang bilang, mungkin Sumiati punya isen (ilmu kekebalan) yang diwariskan leluhurnya dulu, karena biasanya di jaman dahulu para orang tua memberi isen pada anaknya untuk melindungi dari nara bahaya...
Jika isen itu belum dilepas, maka yang memiliki isen tersebut akan sulit menemui ajal...
Tapi setelah aku panggilkan orang pintar, bahkan sudah dicabutnya hal ghoib yang ada di tubuhnya itu, tetap saja Sumiati masih sama keadaannya..." lanjut Haryo menceritakan sembari tertunduk meneteskan air mata.

"Aku tak tega melihatnya seperti ini, kami semua sudah siap, kami semua sudah ikhlas..."Haryo menangis sesunggukan.

Lalu Pramono memeluk tubuh Haryo, mereka yang sama-sama renta namun masih sanggup menguatkan satu sama lain.

"Hingga akhirnya aku ingat, dulu Sumiati sering menceritakan tentang kamu Pram, saat kalian masih menjalin kasih... 
Kalian pernah berjanji jika salah satu dari kalian harus mati, maka saat itu pula tangan kalian akan saling menggenggam, saling memandang satu sama lain hingga akhirnya salah satu diantara kalian menghembuskan nafas terakhir..." ucap Haryo sambil merangkul sahabatnya Pramono.

"Temui dia Pram...
Aku tau Sumiati masih tetap mencaintaimu, hingga diusia yang senja ini...
Kamu lah cinta sejatinya..." ucap haryo.

Lalu Pramono dengan sekuat tenaga mencoba bangkit, dengan langkah tertatih mendekati Sumiati dan duduk tepat disampingnya.

Digenggamnya tangan Sumiati yang lemah, kulitnya tak sekencang dulu namun perasaan Pramono masih tetap sama saat dia menggenggam tangannya saat masih muda dulu.
Getarannya hatinya masih sama seperti saat dia memandang wajah cinta sejatinya puluhan tahun yang lalu.
Tubuh mereka bisa berubah menjadi renta, namun cinta mereka tetap sama tak termakan usia.

"Sum, ini aku Pramono...
Kekasihmu, pujaan hatimu..." bibir Pramono berbisik lirih, pelan penuh makna sembari meneteskan air mata.

"Kini aku kembali padamu Sum, ingin menepati janjiku dulu..." lanjutnya sembari menggenggam erat tangan Sumiati.

"Lihatlah aku disini Sum...
Menggenggam erat tanganmu dipenghujung usia kita...
Kita telah membuktikan pada dunia, bahwa raga kita boleh terpisahkan, namun hati kita tetap menyatu..." bisik Pramono lirih terpatah-patah karena nafasnya yang makin berat seiring tubuhnya yang makin rapuh.

Tangan Sumiati yang sudah seminggu terkulai lemah, kini di genggaman Pramono mulai menunjukan sedikit gerakan.

Pramono makin erat menggenggam tangannya dan menciuminya. Gerakan tangan Sumiati makin terasa, begitu juga dengan gerakan di matanya.

"Sum... lihatlah aku...
Orang yang sangat menyayangimu..." mulut Pramono berucap tanpa henti.

Sumiati mulai terlihat tanda-tanda sadarkan diri. Tanggan, mata dan bibirnya mulai bergerak.
Lalu beberapa saat kemudian matanya mulai sedikit membuka, pupilnya terlihat menerima rangsangan cahaya, matanya seakan mencoba menatap Pramono, dan Pramono pun makin gugup menciumi tangannya.

Bibir Sumiati seakan tersenyum lalu bergetar dan sempat berucap lirih.

"Mas Pram..." suara Sumiati lirih samar tak terdengar. Namun mampu membuat hati Pramono kembali bergetar.

Dan mulut Sumiati kembali membuka seakan ingin berucap lagi. Lalu Pramono mendekat ke wajahnya,
Sumiati pun kembali berucap lirih, samar hampir tak terdengar,

"Asshaduallailahaillalah Waashaduanna Muhamadar Rosulullah" itulah kata terakhir yang diucapkan Sumiati.

Lalu tangis dari sanak keluarganya pecah, diiringi bacaan surat Yasin dan lafat-lafat suci Al-Qur'an...
Pagi itu, Sumiati menghembuskan nafas terakhir di pelukan sang kekasih sejatinya, Pramono.

(Mohon maaf jika ada kesamaan nama dan karakter dalam cerita ini.)









1 comment: