Peristiwa kekejaman
G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Seorang saksi sejarah
peristiwa itu mengungkapkan pengalamannya kepada wartawan Intisari LR
Supriyapto Yahya dan Anglingsari Saptono, ketika ia hampir ikut menjadi korban.
Malam baru saja lewat,
sementara matahari pagi pun belum terjaga dari peraduannya, karena waktu itu
memang baru pukul 03.00.
monumen |
Tanggal terakhir pada
bulan September baru berganti dengan tanggal 1 Oktober 1965. Jakarta dan penduduknya
masih terhanyut dalam sepenggal mimpinya. Namun, Sukitman (49) yang waktu
itu berpangkat Agen Polisi Dua tidak ikut terhanyut dalam buaian mimpi.
la harus menjalankan
tugasnya di Seksi Vm Kebayoran Baru (sekarang Kores 704) yang berlokasi di Wisma
AURI di Jl. Iskandarsyah, Jakarta, bersama Sutarso yang berpangkat sama.
“Angkat tangan”
"Waktu itu polisi
naik sepeda. Sedangkan untuk melakukan patroli, kadang-kadang kami cukup dengan
berjalan kaki saja, karena radius yang harus dikuasai adalah sekitar 200 m,”
katanya mengengang masa awal tugasnya.
Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh bunyi rentetan tembakan, yang rasanya tidak jauh dari
posnya. Karena tembakan itu berasal dari bawah dan dekat situ ada Gedung
MABAK yang tinggi, suara tembakan itu memantul.
Rasa tanggung jawab
membuat Sukitman bergegas mengendarai sepedanya dengan cara melawan arah
mencari sumber tembakan itu. Sementara rekannya tetap melakukan tugas
jaga. Dalam benak pemuda yang terlintas mungkin terjadi perampokan.
Ternyata suara itu
berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan yang terletak di Jln. Sultan
Hasanudin. Di situ sudah banyak pasukan bergerombol. Belum sempat tahu
apa yang terjadi di situ, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan tentara
berseragam loreng dan berbaret merah yang berusaha mencegatnya.
Turun! Lempar senjata
dan angkat tangan!"
Sukitman, yang
waktu itu baru berusia 22 tahun, kaget dan lemas. la segera melakukan apa yang
diperintahkan tanpa bisa menolak. Di bawah ancaman senjata di kiri-kanan,
Sukitman kemudian diseret dan dilemparkan ke dalam truk dalam keadaan tangan
terikat dan mata tertutup.
"Tapi saya tetap
masih belum bisa menduga apa yang terjadi," katanya mengenang peristiwa
menakutkan itu.
Menurut perasaannya,
dalam truk itu Sukitman ditempatkan di samping sopir. Dengan mengandalkan
daya ingatannya, Sukitman berusaha mencari tahu ke mana ia akan dibawa.
Begitu dari Cawang
belok ke kanan, Sukitman mulai kehilangan orientasi. Berbagai perasaan
berkecamuk di dadanya. "Pokoknya, saya pasrah kepada Tuhan sambil
berdoa," katanya.
Entah di mana,
akhirnya kendaraan yang membawa Sukitman berhenti. Ia segera diturunkan dan
tutup matanya dibuka. "Tentu saja saya jalangjang-jalongjong, karena
dari keadaan gelap saya langsung dihadapkan kepada terang."
Pada waktu itulah ia
mendengar orang bicara, "Yani wis dipateni." Tak lama kemudian
seorang tentara yang menghampiri Sukitman dan tahu bahwa sanderanya itu seorang
polisi, segera menyeret Sukitman ke dalam tenda.
Tentara tersebut
segera melapor kepada atasannya, "Pengawal Jenderal Panjaitan
ditawan." Meskipun waktu itu masih remang-remang, di dalam tenda
Sukitman sempat mengamati keadaan sekelilingnya.
Ia melihat orang yang
telentang mandi darah, ada juga yang duduk di kursi sambil bersimbah darah
segar. Seseorang memerintahkan si tentara tadi, yang kemudian diketahui
namanya Lettu Dul Arief, agar Sukitman ditawan di depan rumah.
Begitu hari terang,
dari jarak sekitar 10 m Sukitman bisa melihat dengan jelas sekelompok orang
mengerumuni sebuah sumur sambil berteriak, "Ganyang kabir, ganyang
kabir!"
Ke dalam sumur itu
dimasukkan tubuh manusia - entah dari mana – yang langsung disusul oleh
berondongan peluru. Sukitman sempat melihat seorang tawanan dalam keadaan
masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak di
tempatnya ditawan.
"Setelah tutup
matanya dibuka dan ikatannya dibebaskan, di bawah todongan senjata, sandera itu
dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi kelihatannya ia menolak dan memberontak.
Orang itu diikat kembali, matanya ditutup lagi, dan diseret dan langsung
dilemparkan ke dalam sumur yang dikelilingi manusia haus darah itu dalam posisi
kepala di bawah," kenangnya.
Dengan perasaan tak
keruan, Sukitman menyaksikan kekejaman demi kekejaman berlangsung di depan
matanya, sampai ketika orang-orang buas itu mengangkuti sampah untuk menutupi
sumur tempat memendam para korbannya.
Dengan cara itu
diharapkan perbuatan kejam mereka sulit dilacak. Di atas sumur itu kemudian
ditancapkan pohon pisang.
"Setiap habis
memberondongkan pelurunya, jika akan membersihkan senjatanya, para pembunuh
yang menamakan dirinya sukarelawan dan sukarelawati itu pasti melewati tempat
saya ditawan," tambahnya.
Dengan demikian
Sukitman bisa melihat dengan jelas siapa-siapa saja yang terlibat peristiwa
yang meminta korban nyawa 7 Pahlawan Revolusi. Ia pun sempat melihat
Letkol Untung, yang mengepalai kejadiah kelam dalam sejarah militer di
Indonesia itu.
Kemudian salah seorang
anggota Cakrabirawa menghampiri Sukitman yang masih diliputi rasa takut.
"Kamu tidak usah
takut. Kita sama-sama prajurit. Beli kaus singlet pun kita sudah tidak bisa.
Sementara para jenderal yang menamakan diri Dewan Jenderal, jam dinding di
rumahnya saja terbuat dari emas dan mereka akan membunuh Presiden pada tanggal
5 Oktober. Kamu 'kan tahu Cakrabirawa tugasnya adalah sebagai pengawal dan
penjaga Presiden," kata Sukitman mengulangi apa yang diucapkan si anggota
Cakra tersebut.
Waktu itulah Sukitman
baru merasa agak tenang, meskipun ia masih tetap diawasi. Ternyata anggota
Cakra itu sudah di-drill, karena langsung berada di bawah komando Letkol
Untung. Sekitar satu dua jam kemudian melalui radio disiarkan, siapa yang
mendukung G30S itu akan dinaikkan pangkatnya.
Satu tingkat untuk
prajurit, sementara yang aktif akan memperoleh kenaikan dua tingkat.
Mendengar pengumuman itu semua yang merasa terlibat bersalam-salaman, karena
merasa gerakan mereka sukses.
Setelah suasana agak
tenang, Sukitman dipanggil oleh Lettu Dul Arief yang menanyakan di mana senjata
Sukitman.
Sukitman menjelaskan
apa yang terjadi ketika ia berada di daerah Kebayoran. Akhirnya senjata itu
bisa ditemukan, walaupun dalam keadaan patah. Mengira Sukitman bukan
musuh, bahkan teman senasib, Jumat sore itu Sukitman diajak menuju Halim
bersama iring-iringan pasukan.
Sesampai di Gedung
Penas (daerah Bypass, sekarang Jl. Jend. A. Yani) pasukan itu diturunkan di
lapangan, sementara Sukitman masih bersama Dul Arief. Pada malam harinya,
entah mengapa, orang yang mengawasi tawanannya malah mengajak Sukitman untuk
mengambil nasi.
"Ke mana?"
tanya Sukitman.
"Ke tempat
para jenderal dibunuh," jawab Kopral Iskak, orang yang mengajaknya
tersebut.
"Pada waktu
itulah saya baru tahu bahwa yang dikatakan 'Ganyang kabir, ganyang kabir!' itu
para jenderal," ungkap Sukitman.
Jalan yang diambil
melewati Cililitan, Kramat Jati, Pasar Hek bukan sesuatu yang asing bagi
Sukitman, karena dulu ia pernah mengikuti latihan di daerah itu.
Keadaan masyarakat
masih tenang, karena belum menyadari apa yang terjadi. Saat itu waktu sudah
menunjukkan pukul 23.00. Manusia-manusia haus darah itu masih diliputi suasana
"kemenangan".
Selesai mengambil nasi
mereka segera kembali ke Gedung Penas untuk membagikannya kepada para
pasukan. "Ketika kembali menuju Gedung Penas itu saya sempat turun
untuk membeli rokok. Saya pikir mendingan saya terus pulang saja," kata
Sukitman.
"Jangan,"
kata Kopral Iskak yang menjadi sopir. "Saya juga pulangnya ke Tanah
Abang." Ternyata Iskak adalah sopir Letkol Untung, yang mengotaki
pemberontakan berdarah ini.
Karena kelelahan,
akhirnya Sukitman tertidur. Hari Sabtu pagi Sukitman mulai pasang mata lagi.
Hari itu semakin siang, anggota pasukan semakin banyak dan mereka sudah
berganti pakaian.
"Rupanya mereka
sudah mempersiapkan segalanya," komentar ayah tiga anak ini.
Dalam suasana yang
kurang menguntungkan itu Sukitman masih sempat jajan untuk mengganjal perutnya.
"Tapi kesempatan untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin."
Kira-kira pukul 14.00,
karena merasa kepalanya pusing, Sukitman masuk ke kolong truk untuk
berbaring. la menggunakan helmnya untuk ganjal kepala, senjatanya yang
patah pun ia simpan di dekatnya, sementara kepalanya yang pusing diikatnya
dengan scarf yang sebelumnya digunakan oleh para pemberontak itu.
Rupanya Sukitman
benar-benar jatuh tertidur. "Meskipun saya mendengar bunyi tembakan
gencar, entah mengapa mata saya tidak mau diajak kompromi untuk melek,"
katanya.
Ketika terbangun sore
harinya, sekitar pukul 16.00, ia mendapati dirinya hanya sendirian di
situ. Sementara anggota pasukan yang demikian banyak siang itu, tak satu
pun kelihatan batang hidungnya, sedangkan truk masih berjejer. Sukitman
menganggap hal itu suatu keberuntungan dan juga lindungan Tuhan.
Tiba-tiba datanglah
pasukan tentara yang kemudian diketahui sedang mencari jejak anggota yang
terlibat G30S/PKI. Pasukan itu mengenakan tanda pita putih.
"Prinsip saya,
kalau pakai pita putih itu PMI. Jadi tidak mungkin menangkap tawanan dan
dibunuh." Karena tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya, Sukitman
pun diperiksa.
Begitu pasukan itu
tahu bahwa yang diperiksa seorang polisi, mereka pun kaget.
"Tanpa banyak
tanya saya segera diberi pita putih dan langsung dibawa ke markas Cakrabirawa
yang terletak di belakang Istana Negara, yang sekarang menjadi Gedung
Binagraha."
Saat itulah ia
menjelaskan segamblang-gamblangnya apa yang dialaminya dan kemudian dibuatkan
proses verbal. Hal itu baru selesai pukul 03.00. Setelah selesai,
segeralah hal itu disebarkan ke berbagai pihak yang dianggap perlu
mengetahuinya.
Minggu pagi Sukitman
dijemput dan segera dihadapkan kepada Pangdam V Jaya yang waktu itu dijabat
oleh Mayjen Umar Wirahadikusumah. Kemudian Sukitman dibawa oleh Mayor Mubardi,
ajudan Jenderal A. Yani, ke Jl. Lembang, Jl. Saharjo, dan ke Cijantung. Di sana
Sukitman menghadap Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sementara laporan Sukitman pun
sudah ada di sana.
Bersama pasukan RPKAD
Sukitman segera menuju ke lokasi pembantaian. "Dari Pasar Hek kami
harus jalan kaki dan langsung menyebar," kenangnya.
Di lokasi pasukan
pemberontak masih banyak berkeliaran. Mereka segera diberi ultimatum, jika
tidak menyerah akan segera dihancurkan. Akhirnya RPKAD dapat menguasai keadaan
dan bisa menemukan sumur yang digunakan untuk menyembunyikan jenazah para
Pahlawan Revolusi itu.
Sejak hari Minggu,
pukul 22.00, Sukitman sudah diambil lagi dan berada di bawah pengawasan Sarwo
Edhie. Sukitman dilarang untuk berbicara apa pun kepada orang lain.
"Karena kelelahan
saya tertidur dan tidak tahu dibawa ke mana. Tahu-tahu saya sudah sampai di Jl.
Merdeka Timur, melapor, dan menghadap Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Kemudian saya dibawa kembali ke Cijantung," kenang Sukitman.
Hari Senin jenazah
para Pahlawan Revolusi berhasil diangkat dari sumur dan segera dibawa ke Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat (kini RS Gatot Subroto). Ternyata tugas Sukitman
masih belum selesai sampai di situ, ia dijemput lagi oleh pasukan dari Kodam.
Namun, atas perintah Pangdam V Jaya ia diambil lagi dari Cijantung.
Kemudian ia masih
harus dibawa ke Kodam, Jl. Guntur, untuk diperiksa, setelah itu ke markas
Cakra.
Baru pada hari Rabu
Sukitman dikembalikan. Tentu saja rekan Sukitman serasa mimpi melihat temannya
kembali tanpa kurang suatu apa pun, meskipun sepedanya penuh darah.
Sejarah kadang memang
sulit diduga. Sukitman yang sedang menjalankan tugasnya ternyata terseret ke
dalam peristiwa besar di republik ini. Maka jadilah ia seorang saksi sejarah.
Tentu saja Sukitman
menerima penghargaan berupa kenaikan pangkat menjadi Agen Polisi Satu.
Bintang Satria Tamtama
diperolehnya bertepatan dengan Hari Kepolisian, 1 Juli 1966, dan Bintang Satya
Penegak diberikan oleh Presiden Soeharto, tepat pada Hari ABRI, 5 Oktober 1966.
Setiap peringatan Hari
Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, di tempat kejadian Sukitman merupakan salah satu undangan yang
tak terlupakan. Hal ini sangat membanggakan hatinya, karena ia merasa
dihargai oleh pemerintah.
Sukitman, yang kini
berpangkat kapten, tidak pernah menganggap dirinya sangat berjasa. Ia lebih
mensyukuri rahmat Tuhan yang dilimpahkan pada dirinya, karena bisa terhindar
dari renggutan maut para pemberontak yang menamakan diri Gerakan 30 september 1965(G/30/SPKI)
No comments:
Post a Comment